Pengertian Disleksia
Disleksia berasal dari bahasa Greek, yakni dari kata ”dys” yang berarti kesulitan, dan kata ”lexis” yang berarti bahasa. Jadi disleksia secara harafiah berarti ” kesulitan dalam berbahasa.” Anak disleksia tidak hanya mengalami kesulitan dalam membaca, tapi juga dalam hal mengeja, menulis dan beberapa aspek bahasa yang lain.
Kesulitan membaca pada anak disleksia tidak sebanding dengan tingkat intelegensi ataupun motivasi yang dimiliki untuk kemampuan membaca dengan lancar dan akurat, karena anak disleksia biasanya mempunyai lebel intelegensi yang normal bahkan sebagian di antaranya di atas normal. Disleksia merupakan kelainan dengan dasar kelainan neurobiologis, yang ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat / akurat, dalam pengejaan dan dalam kemampuan mengkode simbol.
Ada juga ahli yang mendefinisikan disleksia sebagai suatu kondisi pemprosesan input/informasi yang berbeda (dari anak normal) yang seringkali ditandai dengan kesulitan dalam membaca, yang dapat mempengaruhi cara kognisi seperti daya ingat, kecepatan pemprosesan input, kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi dan pengendalain gerak. Dapat terjadi kesulitan visual dan fonologis, dan biasanya terdapat perbedaan kemampuan di berbagai aspek perkembangan.
Karakteristik Disleksia
1. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca.
2. Sulit menyuarakan fone
m dan memadukannya menjadi sebuah kata.
3. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan, walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama.
4. Kesulitan mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misal, kata SAYA ejaannya adalah S¬A¬Y¬A.
5. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
6. Sulit mengeja kata/suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak akan terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata.
7. Terlambat perkembangan kemampuan bicara dibandingkan dengan anak-anak seusianya pada umumnya.
8. Terlambat dalam mempelajari alfabet, angka, hari, minggu, bulan, warna, bentuk dan informasi mendasar lainnya.
9. Terlihat kesulitan dalam menuliskan huruf ke dalam kesatuan kata secara benar.
10. Bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan: d-b, u-n, m-n .
11. Rancu terhadap huruf yang bunyinya mirip: v, f, th.
12. Sering menuliskan/mengucapkan kata terbalik-balik. Umpama, kata hal menjadi lah.
13. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lain.
14. Mengucapkan susunan kata secara terbalik-balik. Contoh, Kucing duduk di atas kursi diucapkan Kursi duduk di atas kucing.
15. Rancu terhadap kata-kata yang singkat, seperti ke, dari, dan, jadi.
16. Membaca dengan benar tapi tak mengerti apa yang dibacanya
2. Sulit menyuarakan fone
m dan memadukannya menjadi sebuah kata.
3. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan, walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama.
4. Kesulitan mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misal, kata SAYA ejaannya adalah S¬A¬Y¬A.
5. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
6. Sulit mengeja kata/suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak akan terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata.
7. Terlambat perkembangan kemampuan bicara dibandingkan dengan anak-anak seusianya pada umumnya.
8. Terlambat dalam mempelajari alfabet, angka, hari, minggu, bulan, warna, bentuk dan informasi mendasar lainnya.
9. Terlihat kesulitan dalam menuliskan huruf ke dalam kesatuan kata secara benar.
10. Bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan: d-b, u-n, m-n .
11. Rancu terhadap huruf yang bunyinya mirip: v, f, th.
12. Sering menuliskan/mengucapkan kata terbalik-balik. Umpama, kata hal menjadi lah.
13. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lain.
14. Mengucapkan susunan kata secara terbalik-balik. Contoh, Kucing duduk di atas kursi diucapkan Kursi duduk di atas kucing.
15. Rancu terhadap kata-kata yang singkat, seperti ke, dari, dan, jadi.
16. Membaca dengan benar tapi tak mengerti apa yang dibacanya
Faktor Penyebab Disleksia
a. Faktor keturunan
Disleksia cenderung terdapat pada keluarga yang mempunyai anggota kidal. Orang tua yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya, atau anak kidal pasti disleksia. Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal.
b. Problem pendengaran sejak usia dini
b. Problem pendengaran sejak usia dini
Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli. Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan.
c. Faktor kombinasi
c. Faktor kombinasi
Ada pula kasus disleksia yang disebabkan kombinasi dari 2 faktor di atas, yaitu problem pendengaran sejak kecil dan faktor keturunan. Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa. Dengan perkembangan teknologi CT Scan, bisa dilihat bahwa perkembangan sel-sel otak penderita disleksia berbeda dari mereka yang nondisleksia. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan fungsi-fungsi tertentu pada otak mereka, terutama otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Selain itu, terjadi perkembangan yang tidak proporsional pada sistem magno-cellular di otak penderita disleksia. Sistem ini berhubungan dengan kemampuan melihat benda bergerak. Akibatnya, objek yang mereka lihat tampak berukuran lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan proses membaca jadi lebih sulit karena saat itu otak harus mengenali secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata berbeda yang terlihat secara bersamaan oleh mata.
Alternatif Solusi Desleksia
Pengobatan terbaik untuk mengenali kata adalah pengajaran langsung yang memasukkan pendekatan multisensori. Pengobatan jenis ini terdiri dari mengajar dengan bunyi-bunyian dengan isyarat yang bervariasi, biasanya secara terpisah dan, bila memungkinkan, sebagai bagian dari program membaca.
Pengajaran tidak langsung untuk mengenali kata juga sangat membantu. Pengajaran ini biasanya terdiri dari latihan untuk meningkatkan pelafalan kata atau pengertian membaca. Anak-anak diajarkan bagaimana memproses suara-suara dengan menggabungkan suara-suara ke dalam bentuk kata-kata, dengan memisahkan kata-kata ke dalam bagian-bagian, dan dengan mengenali letak suara pada kata.
Pengajaran component-skill untuk mengenali kata juga sangat membantu. Hal ini terdiri dari latihan menggabung suara-suara ke dalam bentuk kata-kata, membagi kata ke dalam bagian kata , dan untuk mengenali letak suara pada kata.
Pengobatan tidak langsung, selain untuk mengenali kata, kemungkinan digunakan tetapi tidak dianjurkan. Pengobatan tidak langsung bisa termasuk penggunaan lensa diwarnai yang membuat kata-kata dan huruf-huruf bisa dibaca dengan lebih mudah, latihan gerakan mata, atau latihan penglihatan perseptual. Obat-obatan seperti piracetam juga harus dicoba. Manfaat pengobatan tidak langsung tidak terbukti dan bisa menghasilkan harapan tidak realistis dan menhambat pengajaran yang dibutuhkan.
Misalnya dengan melakukan:
a. Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
b. Anak duduk di barisan paling depan di kelas
c. Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50.
d. Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
e. Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup.
f. Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’ dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s, q”, bentuk zig zag: ”k, v, x, z”, bentuk linear: ”j, t, l, u, y”, bentuk hampir serupa: ”r, n, m, h”.
g. Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh karena itu tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara penyelesaian yang klasik jika cara terebut sukar diterima oleh sang anak.
h. Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.